Tiap tahunnya, banyak anak yang tidak dapat masuk sekolah negeri karena kuotanya yang terbatas dan aturan zonasi yang membuat orang tua semakin kesulitan untuk memasukkan anaknya ke sekolah pilihan. Akhirnya, sekolah swasta menjadi alternatif, meski biayanya tidak ringan. Ada yang harus membayar jutaan rupiah hanya untuk masuk, belum termasuk SPP bulanan. Situasi ini menimbulkan beban tersendiri, apalagi bagi keluarga dengan penghasilan terbatas yang sebenarnya berharap bisa mendapatkan pendidikan layak tanpa biaya besar.
Di sisi lain, distribusi jumlah sekolah juga belum merata. Sekolah negeri memang lebih banyak di tingkat dasar, tetapi saat jenjang SMA dan SMK, justru sekolah swasta yang mendominasi. Hal ini memperkuat ketimpangan akses pendidikan antara wilayah dan golongan ekonomi. Ketika anak tidak bisa masuk negeri, maka pilihannya adalah membayar atau tidak sekolah sama sekali. Padahal pendidikan seharusnya menjadi hak, bukan beban yang harus ditanggung sendirian oleh masyarakat.
Meski Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan bahwa negara wajib membiayai pendidikan dasar di sekolah negeri maupun swasta, kenyataannya di lapangan belum banyak berubah. Sekolah swasta tetap bergantung pada iuran dari orang tua murid, sementara bantuan pemerintah belum sepenuhnya menjangkau kebutuhan riil lembaga pendidikan tersebut. Pemerataan belum tercapai, baik dari sisi biaya, kualitas, maupun akses masuk sekolah.